Wednesday, 4 July 2018

FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM BUDIDAYA KERBAU AGAR DAPAT DIJADIKAN USAHA POKOK


FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM BUDIDAYA KERBAU AGAR DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI USAHA POKOK

Oleh : Jamaluddin ZA, S.Pt (Kasi Budidaya Peternakan Dinas Peternakan Kabupaten Lebak)







Usaha budidaya kerbau yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten lebak memiliki berbagai macam tujuan, sebagian peternak kerbau menjadikan usaha peternakan kerbau sebagai usaha pokok. Sebagian lagi hanya sebagai usaha sambilan.  Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan jika ingin menjadikan budidaya kerbau sebagai usaha pokok. Berikut ini faktor-faktor yang harus diperhatikan jika ingin menjadikan usaha budidaya kerbau sebagai usaha pokok yaitu ; jumlah Indukan yang dipelihara, ketersediaan pakan dan status reproduksi ternak.



A.  Jumlah Indukan yang Dipelihara

Jumlah ternak kerbau yang dipelihara sangat berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan, baik berupa anak maupun hasil ikutannya. Jika jumlah ternak sedikit sudah barang tentu hasilnya juga sedikit.  Oleh karena itu jumlah ternak menjadi ukuran utama jika menjadikan usaha budidaya ternak kerbau sebagai usaha pokok. Bagi peternak dengan sistim pemeliharaan ekstensif yang mengandalkan padang penggembalaan sebagai sumber pakan bagi ternaknya harus memperhitungkan waktu dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang didapatkan. Hasil yang diperoleh minimal bisa memenuhi kebutuhan selama satu tahun.  Hasil utama yang diperoleh dari budidaya kerbau adalah kelahiran anak kerbau, maka harus diperhitungkan produksi anak kerbau setiap tahun dengan biaya yang dibutuhkan. Idealnya bisa memproduksi dan menjual kerbau minimal 3 ekor setiap tahun.  Satu bulan diawal pemeliharaan kerbau (tahun pertama) diupayakan semua induk sudah bunting, sehingga satu tahun pemeliharaan sudah melahirkan 3-4 ekor anak, kemudian dua bulan post partus kerbau sudah dikawinkan kembali agar 11 bulan kemudian dapat melahirkan anak.  Calving interval harus dapat dicapai selama 13 bulan. 

 Penjualan pertama dilakukan setelah masa pemeliharaan induk selama 18 bulan,  jika diasumsikan pertama penjualan anak usia lepas sapih 6-8 bulan satu ekor dengan asumsi harga Rp. 7.000.000,-/ekor. Kemudian 2 ekor setelah usia satu tahun, dengan asumsi harga Rp 9.000.000,- per ekor, Berarti penghasilan peternak setiap tahun Rp 25.000.000,-. Tujuan satu ekor anak kerbau terlebih dahulu dijual setelah lepas sapih 6-8 bulan agar tidak terlalu lama mengandalkan usaha lain sebagai penopang hidup sehari-hari, dengan cara ini kebutuhan sehari-hari bisa diperoleh dari hasil budidaya kerbau setelah 18 bulan pemeliharaan.  Setelah tahun ke dua bisa menjual 3 ekor anak kerbau usia satu tahun dengan asumsi harga Rp 9.000.000,./ekor. Berarti tahun ke 2 dan seterusnya akan menghasilkan Rp 27.000.000,-/periode sesuai calving binterval 13 bulan.  Setiap tahun tiga ekor anak dijual untuk kebutuhan sehari-hari sedangkan satu ekor lagi sebagai replacement stock atau pengganti induk, jika induk sudah tidak produktif. Replacement stock diseleksi dari anak-anak kerbau yang sudah lahir, dipilih anak kerbau yang paling unggul sehingga setelah waktunya induk diganti mendapatkan kualitas ternak yang baik. 

Agar memperoleh jumlah anak kerbau yang diinginkan (3-4 ekor/tahun) maka jumlah induk yang dipelihara harus seimbang dengan jumlah produksi anak yang diharapkan. Jika ingin menghasilkan anak kerbau 3-4 ekor per tahun sebagai sumber penghasilan utama. Maka harus memelihara induk kerbau betina produktif sebanyak 4 ekor dan pejantan 1 ekor.

Pola budidaya kerbau jika dilakukan secara intensif akan membutuhkan biaya yang lebih mahal, terutama biaya pakan dan tenaga kerja. Pemeliharaan budidaya kerbau secara intensif harus bisa menekan biaya pakan agar pendapatan dari produksi anak yang dihasilkan melebihi biaya operasional yang dikeluarkan. Sehingga usaha budidaya kerbau dapat menguntungkan.



B.  Ketersediaan Pakan

Ketersediakan pakan merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu usaha peternakan. Bagi peternak yang akan menjadikan budidaya kerbau sebagai usaha pokok harus memperhitungkan ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Jika kekurangan pakan harus menyediakan dari tempat yang lain seperti menanam Hijauan Pakan Ternak atau memanfaatkan limbah pertanian sebagai tambahan pakan.  Pakan yang diberikan pada kerbau harus memenuhi kebutuhan nutrisi baik kuantitas maupun kualitasnya.

Kekurangan pakan bisa mengakibatkan banyak masalah yang ditumbulkan selama pemeliharaan. Kekurangan pakan akan menghambat baik pertumbuhan ternak maupun produksi ternak. Kualitas dan konsumsi pakan yang rendah dapat menyebabkan berbagai macam masalah reproduksi seperti terhambatnya estrus setelah melahirkan, berkurangnya pengeluaran LH, menghambat pematangan folikel dan ovulasi. Energi dan asam amino merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan agar dapat estrus, Sumber energi utama untuk proses reproduksi adalah dalam bentuk glukosa. Sedangkan sumber utama asam amino ruminansia adalah protein mikroba rumen, kecuali mithionine dan lysine yang diperoleh dari makanan (Balitnak, 2016).

Kekurangan pakan juga bisa menyebabkan berkurangnya produksi susu, kekurusan dan mudah terserang penyakit.  Kekurangan jumlah dan kualitas nutrisi pakan dapat terlihat dari body condition Score (BCS), semakin rendah jumlah dan kualitas pakan sejalan dengan semakin rendah pula BCS ternak. Perlu diperhitungkan keseimbangan nutrisi, baik energi, protein, mineral,  vitamin dan lain-lain, yang paling utama adalah kecukupan energi dan protein. Jika kecukupan nutrisi pakan tidak terpenuhi maka akan menghambat produksi kerbau, bisa berakibat terhadap calving interval yang lebih panjang, sehingga penghasilan yang diharapkan tidak terpenuhi. Kekurangan pakan juga akan mengakibatkan mudahnya agen penyakit masuk ke dalam tubuh ternak yang bisa berakibat fatal seperti lumpuh atau bahkan kematian ternak, kejadian ini tentu sangat merugikan bagi peternak.  Kalaupun induk dengan BCS 1 sampai 2 bisa melahirkan anak, tentu kebutuhan nutrisi untuk anak dari induk kerbau kekurangan. Hal ini bisa berakibat lambatnya pertumbuhan anak kerbau, yang berakibat memperpanjang masa usia penjualan. Sehingga bisa terhalangnya usaha budidaya kerbau sebagai sumber utama penghasilan. BCS ternak yang baik dijadikan induk kerbau antara 3-4 dengan skala 1-5.



C.  Status Reproduksi

            Sebelum membeli indukan kerbau terlebih dahulu peternak harus mengetahui status reproduksi kerbau. Oleh karena itu perlu pemeriksaan status reproduksi. Agar tidak memelihara kerbau yang tidak produktif atau majir. Pemeriksaan dilakukan pada kerbau-kerbau yang akan dibeli, kerbau yang akan dijadikan induk diseleksi terlebih dahulu. Bagi peternak mungkin agak sulit kalau melakukan pemeriksaan dengan palpasi rektal. Bagi peternak, yang dapat dilakukan adalah mengetahui sejarah ternak, apakah ternak pernah beranak atau tidak, jika belum pernah beranak harus diketahui penyebabnya. Jika ternak pernah beranak kemungkinan ternak tersebut produktif, walaupun tidak 100 % menjamin karena bisa saja terjadi kerusakan alat reproduksi setelah melahirkan. Minimal ada satu indikasi bahwa ternak tersebut pernah produktif. Atau membeli kerbau bunting, Alangkah lebih baik jika ternak yang dibeli kerbau bunting, kerbau bunting sudah barang tentu produktif. Membeli ternak bunting dapat memperpendek waktu penerimaan hasil dari budidaya.

 Apabila ternak yang dibeli tidak bunting tentu harus diketahui status reproduksinya. Apakah alat reproduksinya kondisinya normal atau tidak.  Jika yang dibeli ternak dara atau baru dewasa tubuh atau ternak kerbau induk dewasa yang tidak bunting, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan alat reproduksi oleh petugas yang sudah terampil atau petugas ATR, sehingga ternak yang dibeli bisa diketahui status reproduksinya normal (produktif) atau tidak.





DAFTAR PUSTAKA



Balitnak (2016) Pengaruh pemberian leguminosa terhadap penampilan hormon progesteron

               pada domba betina. Bogor



Leng, R.A. (1991) Application of Biotechnology to Nutritionof Animal in Developing

                      Countries. Rome. Animal Production and Health Paper. FAO.



Soehadji, H. (1991) Kebijakan Pengembangan ternak potong di Indonesia. Proc. Seminar

                      Nasional Sapi Bali


No comments:

Post a Comment