FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM BUDIDAYA KERBAU AGAR DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI USAHA
POKOK
Oleh :
Jamaluddin ZA, S.Pt (Kasi Budidaya Peternakan Dinas Peternakan Kabupaten Lebak)
Usaha
budidaya kerbau yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten lebak memiliki
berbagai macam tujuan, sebagian peternak kerbau menjadikan usaha peternakan
kerbau sebagai usaha pokok. Sebagian lagi hanya sebagai usaha sambilan. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan
jika ingin menjadikan budidaya kerbau sebagai usaha pokok. Berikut ini
faktor-faktor yang harus diperhatikan jika ingin menjadikan usaha budidaya
kerbau sebagai usaha pokok yaitu ; jumlah Indukan yang dipelihara, ketersediaan
pakan dan status reproduksi ternak.
A. Jumlah Indukan yang
Dipelihara
Jumlah
ternak kerbau yang dipelihara sangat berpengaruh terhadap produksi yang
dihasilkan, baik berupa anak maupun hasil ikutannya. Jika jumlah ternak sedikit
sudah barang tentu hasilnya juga sedikit.
Oleh karena itu jumlah ternak menjadi ukuran utama jika menjadikan usaha
budidaya ternak kerbau sebagai usaha pokok. Bagi peternak dengan sistim
pemeliharaan ekstensif yang mengandalkan padang penggembalaan sebagai sumber
pakan bagi ternaknya harus memperhitungkan waktu dan biaya yang dikeluarkan dengan
hasil yang didapatkan. Hasil yang diperoleh minimal bisa memenuhi kebutuhan
selama satu tahun. Hasil utama yang
diperoleh dari budidaya kerbau adalah kelahiran anak kerbau, maka harus diperhitungkan
produksi anak kerbau setiap tahun dengan biaya yang dibutuhkan. Idealnya bisa memproduksi
dan menjual kerbau minimal 3 ekor setiap tahun. Satu bulan diawal pemeliharaan kerbau (tahun
pertama) diupayakan semua induk sudah bunting, sehingga satu tahun pemeliharaan
sudah melahirkan 3-4 ekor anak, kemudian dua bulan post partus kerbau sudah
dikawinkan kembali agar 11 bulan kemudian dapat melahirkan anak. Calving
interval harus dapat dicapai selama 13 bulan.
Penjualan pertama dilakukan setelah masa
pemeliharaan induk selama 18 bulan, jika
diasumsikan pertama penjualan anak usia lepas sapih 6-8 bulan satu ekor dengan
asumsi harga Rp. 7.000.000,-/ekor. Kemudian 2 ekor setelah usia satu tahun,
dengan asumsi harga Rp 9.000.000,- per ekor, Berarti penghasilan peternak
setiap tahun Rp 25.000.000,-. Tujuan satu ekor anak kerbau terlebih dahulu
dijual setelah lepas sapih 6-8 bulan agar tidak terlalu lama mengandalkan usaha
lain sebagai penopang hidup sehari-hari, dengan cara ini kebutuhan sehari-hari
bisa diperoleh dari hasil budidaya kerbau setelah 18 bulan pemeliharaan. Setelah tahun ke dua bisa menjual 3 ekor anak
kerbau usia satu tahun dengan asumsi harga Rp 9.000.000,./ekor. Berarti tahun
ke 2 dan seterusnya akan menghasilkan Rp 27.000.000,-/periode sesuai calving binterval 13 bulan. Setiap tahun tiga ekor anak dijual untuk
kebutuhan sehari-hari sedangkan satu ekor lagi sebagai replacement stock atau pengganti induk, jika induk sudah tidak
produktif. Replacement stock
diseleksi dari anak-anak kerbau yang sudah lahir, dipilih anak kerbau yang
paling unggul sehingga setelah waktunya induk diganti mendapatkan kualitas
ternak yang baik.
Agar
memperoleh jumlah anak kerbau yang diinginkan (3-4 ekor/tahun) maka jumlah
induk yang dipelihara harus seimbang dengan jumlah produksi anak yang
diharapkan. Jika ingin menghasilkan anak kerbau 3-4 ekor per tahun sebagai
sumber penghasilan utama. Maka harus memelihara induk kerbau betina produktif
sebanyak 4 ekor dan pejantan 1 ekor.
Pola
budidaya kerbau jika dilakukan secara intensif akan membutuhkan biaya yang
lebih mahal, terutama biaya pakan dan tenaga kerja. Pemeliharaan budidaya
kerbau secara intensif harus bisa menekan biaya pakan agar pendapatan dari
produksi anak yang dihasilkan melebihi biaya operasional yang dikeluarkan.
Sehingga usaha budidaya kerbau dapat menguntungkan.
B. Ketersediaan Pakan
Ketersediakan
pakan merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu usaha peternakan. Bagi
peternak yang akan menjadikan budidaya kerbau sebagai usaha pokok harus
memperhitungkan ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Jika kekurangan pakan
harus menyediakan dari tempat yang lain seperti menanam Hijauan Pakan Ternak
atau memanfaatkan limbah pertanian sebagai tambahan pakan. Pakan yang diberikan pada kerbau harus
memenuhi kebutuhan nutrisi baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kekurangan
pakan bisa mengakibatkan banyak masalah yang ditumbulkan selama pemeliharaan.
Kekurangan pakan akan menghambat baik pertumbuhan ternak maupun produksi ternak.
Kualitas dan konsumsi pakan yang rendah dapat menyebabkan berbagai macam
masalah reproduksi seperti terhambatnya estrus setelah melahirkan, berkurangnya
pengeluaran LH, menghambat pematangan folikel dan ovulasi. Energi dan asam
amino merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan agar dapat estrus, Sumber energi
utama untuk proses reproduksi adalah dalam bentuk glukosa. Sedangkan sumber
utama asam amino ruminansia adalah protein mikroba rumen, kecuali mithionine
dan lysine yang diperoleh dari makanan (Balitnak, 2016).
Kekurangan
pakan juga bisa menyebabkan berkurangnya produksi susu, kekurusan dan mudah
terserang penyakit. Kekurangan jumlah
dan kualitas nutrisi pakan dapat terlihat dari body condition Score (BCS), semakin rendah jumlah dan kualitas pakan
sejalan dengan semakin rendah pula BCS ternak. Perlu diperhitungkan
keseimbangan nutrisi, baik energi, protein, mineral, vitamin dan lain-lain, yang paling utama
adalah kecukupan energi dan protein. Jika kecukupan nutrisi pakan tidak
terpenuhi maka akan menghambat produksi kerbau, bisa berakibat terhadap calving interval yang lebih panjang,
sehingga penghasilan yang diharapkan tidak terpenuhi. Kekurangan pakan juga
akan mengakibatkan mudahnya agen penyakit masuk ke dalam tubuh ternak yang bisa
berakibat fatal seperti lumpuh atau bahkan kematian ternak, kejadian ini tentu
sangat merugikan bagi peternak. Kalaupun
induk dengan BCS 1 sampai 2 bisa melahirkan anak, tentu kebutuhan nutrisi untuk
anak dari induk kerbau kekurangan. Hal ini bisa berakibat lambatnya pertumbuhan
anak kerbau, yang berakibat memperpanjang masa usia penjualan. Sehingga bisa
terhalangnya usaha budidaya kerbau sebagai sumber utama penghasilan. BCS ternak
yang baik dijadikan induk kerbau antara 3-4 dengan skala 1-5.
C. Status Reproduksi
Sebelum membeli indukan kerbau terlebih
dahulu peternak harus mengetahui status reproduksi kerbau. Oleh karena itu
perlu pemeriksaan status reproduksi. Agar tidak memelihara kerbau yang tidak
produktif atau majir. Pemeriksaan dilakukan pada kerbau-kerbau yang akan
dibeli, kerbau yang akan dijadikan induk diseleksi terlebih dahulu. Bagi
peternak mungkin agak sulit kalau melakukan pemeriksaan dengan palpasi rektal.
Bagi peternak, yang dapat dilakukan adalah mengetahui sejarah ternak, apakah
ternak pernah beranak atau tidak, jika belum pernah beranak harus diketahui
penyebabnya. Jika ternak pernah beranak kemungkinan ternak tersebut produktif,
walaupun tidak 100 % menjamin karena bisa saja terjadi kerusakan alat reproduksi
setelah melahirkan. Minimal ada satu indikasi bahwa ternak tersebut pernah
produktif. Atau membeli kerbau bunting, Alangkah lebih baik jika ternak yang
dibeli kerbau bunting, kerbau bunting sudah barang tentu produktif. Membeli
ternak bunting dapat memperpendek waktu penerimaan hasil dari budidaya.
Apabila ternak yang dibeli tidak bunting tentu
harus diketahui status reproduksinya. Apakah alat reproduksinya kondisinya
normal atau tidak. Jika yang dibeli
ternak dara atau baru dewasa tubuh atau ternak kerbau induk dewasa yang tidak
bunting, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan alat reproduksi oleh petugas yang
sudah terampil atau petugas ATR, sehingga ternak yang dibeli bisa diketahui status
reproduksinya normal (produktif) atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Balitnak (2016) Pengaruh pemberian leguminosa terhadap
penampilan hormon progesteron
pada
domba betina. Bogor
Leng, R.A. (1991) Application of Biotechnology to Nutritionof
Animal in Developing
Countries. Rome.
Animal Production and Health Paper. FAO.
Soehadji, H. (1991) Kebijakan Pengembangan ternak potong di
Indonesia. Proc. Seminar
Nasional Sapi Bali
No comments:
Post a Comment